Siapkan mental dan hati sebelum membaca posting ini … jika di tengah kalimat, terasa mau marah atau jengkel, mohon segera tutup blog, tarik napas panjang, keluarkan pelan-pelan, minum segelas air putih … lalu tidur …
Kaltim Post edisi minggu, 17 Desember 2006 kolom halte halaman utama memuat cuplikan hasil survei Transparancy International Indonesia (TII) menyambut hari Antikorupsi 10/12/2006 pekan lalu. Hasil survei tidak mengejutkan ketika menempatkan lembaga kesehatan berada di jajaran 10 besar lembaga terkorup. Tulisan Leak Koestiya di headline menggelitik hati saya, terutama rasa keterkejutan beliau di halaman berikutnya yang berisi teks sebagai berikut:
… Tapi, cobalah sejenak kita renungkan. Lembaga kesehatan juga masuk daftar peringkat sepuluh besar lembaga terkorup. ohoi, kadal diabet biawak cluthak! …. lalu mari simak sambungannya … mengorupsi alat-alat medis, me-mark up biaya perawatan, atau mencuri perban, pasti bakal membuat rasa sakit para pasien semakin tak tertahan….
Teks di atas menstimulir syaraf sensorik dan motorik lalu bersinergi membuat saya terpingkal, karena … TIDAK SALAH …. terlepas darimana dan seberapa akurasi TII … yaaaahhhhh emang betul adanya … walaupun tidak semua, “prestasi” tersebut sungguh memalukan segenap jajaran kesehatan dan mungkin yang dimaksud TII mulai dari depkes hingga pustu, rs termasuk under bow-nya.
Mengapa begitu yakin? … sebagai warga internal lembaga kesehatan, tentu hapal dong lika-liku rumah keluarga sendiri.
Sebagai contoh:
Saat-saat sekarangpun mungkin saja beberapa Dinas Kesehatan entah tingkat berapa, super sibuk menyelesaikan spj-nya. Seperti posting-posting sebelumnya, kebanyakan “project oriented”, bahkan ada yang sampai gegeran rebutan “jajan anggaran”.
Seorang teman mengeluh karena diberi tumpukan pekerjaan spj dengan pesan harus segera selesai.
Guyonan yang tak kalah populernya adalah ketika Depkes “berkolaborasi” dengan PT Askes “menjual warga miskin” sebagai lahan hijau.
Maret hingga April 2006 digelar milis terbuka untuk masukan. Dus … itu kan cuman dagelan, wong sejatinya keputusan sudah final, mungkin biar nampak demokratis dan menyerap aspirasi. Padahal isi milis kebanyakan sumpah serapah dan kata pedas dari para dokter sepuh sampai yang muda. Sayapun sempat nulis 3 kali pada tanggal 1 April … sayangnya tak lama kemudian, milis tutup … dan keputusan berjalan hingga kini … dan ditiru di beberapa tingkat II termasuk kota saya, Samarinda. Alangkah lucunya kala meneriakkan “pelayanan prima” nun di saat bersamaan masih senang main-main.
Contoh lain ketika Juni lalu diajak sohib lihat-lihat alkes di Surabaya … direksinya cerita bahwa kalau jajaran kesehatan belanja alkes seharga 500 juta, paling sedikit minta ditulis 800 juta … ladalah …
Yang beginian ini terasa dekat namun sulit dibuktikan.
Lebih mengerikan, hembusan rasan-rasan dari salah satu Litbangkes … ternyata di balik kehormatan intelektual lembaga tersebut … wooow … begitu melimpahnya judul anggaran yang penggunaannya … tau sendirilah.
Jadi, walau memendam malu rasanya lebih bijak bila kita berbesar hati mengakui lalu memperbaikinya. Jelas tidak mudah, karena siapapun yang memulai akan akrab dengan cap “melawan arus” atau sejenisnya …
Ibaratnya sama dengan upaya merubah tatanan tradisi yang sudah mengakar…tetapi bukan tidak mungkin bila sebagian dari kita bahu membahu memperbaikinya, dan tak perlu sakit hati dengan hasil TII, anggap aja sahih.
Seorang teman Kepala Puskesmas di Jember bergurau:” dulu dokter dianggap sosok bak malaikat, kini mungkin tinggal 25%…”, namanya juga guyonan … ngga usah ditanya metode penelitiannya …
Kritik kepada jajaran kesehatan sebenarnya bukan barang baru, cuman masyarakat masih segan mengungkapkan secara terbuka.
Saya percaya, kita bisa merubah menjadi baik …
Semoga
*******
Catatan: Judul dirubah dikit, gpp ya Cak?
Sumber: Cakmoki, tulisan asli ada di sini
Komentar Pembaca